Sebagian jamaah haji memahami ungkapan “Pahala Sesusi Dengan Kadar Kesulitan”, dengan menganggap bahwa kepayahan dalam beribadah haji (atau ibadah apapun secara umum) memang dituntut dalam syari’at agar pahala semakin banyak.
Karenanya ada diantara mereka yang “sengaja” berhaji jalan kaki misalnya tanpa mau mengikuti “pelayanan biro haji”?!, atau ada yang sengaja melakukan haji ifrod karena anggapan haji ifrod lebih berat pelaksanaannya maka itu lebih baik?!.
Bahkan ada yang berkata haji regular lebih afdhol daripada haji plus, karena haji reguler lebih repot dan lebih banyak jalannya !!
Apakah benar demikian??
Kemudahan Merupakan Tujuan Syari’at
Tidak diragukan bahwa diantara tujuan (maqosid) As-Syari’ah adalah menghilangkan kesulitan dari para mukallaf. Allah berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS Al-Baqoroh : 185)
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
Allah tidak hendak menyulitkan kamu (QS Al-Maidah : 6)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS Al-Haaj : 78)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallah juga bersabda dalam hadits-haditsnya :
إِنَّ اللَّه يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُتْرَكَ مَعْصِيَتُهُ
“Sesungguhnya Allah suka untuk diambil rukhsoh (keringanan dariNya) sebagaimana Allah suka untuk ditinggalkan kemaksiatan kepadaNya” (HR Ahmad nno 5866, Ibnu Khuzaimah dalam Sahihnya no 2027, dari hadits Ibnu Umar –semoga Allah meridhoinya-)
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يُحِبُّ أنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ
“Sesungguhnya Allah suka untuk dikerjakan keringanan-keringanan dariNya sebagaimana Allah suka jika dikerjakan ‘azaaimNya (hukum-hukum asal sebelum ada keringanan)” (HR Ibnu Hibban dalam Shahihnya no 354, dari hadits Ibnu Abbas –semoga Allah meridhoinya-)
إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama ini mudah, maka tidak seorangpun yang menyulitkan agama ini kecuali terkalahkan” (HR Al-Bukhari no 39)
Karenanya Aisyah –semoga Allah meridhoinya- berkata :
ما خُيِّرَ رسولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إلا أَخَذَ (وفي روايةٍ: اختار) أَيسَرَهُمَا؛ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْماً، فَإِنْ كانَ إِثْمًا؛ كانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi pilihan diantara dua perkara kecuali ia memilih yang paling ringan dari keduanya selama bukan dosa, kalau dosa maka beliau adalah orang yang paling menjauhi” (HR Al-Bukhari no 3560)
Karenanya ada amalan-amalan yang ringan akan tetapi pahalanya besar, contohnya :
Dzikir yang dalam hadits :
كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ
“Dua kalimat yang ringan di lisan, berat di timbangan, dicintai oleh Ar-Rahman : سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ “ (HR Al-Bukhari no 6682 dan Muslim no 2694)
Bahkan bisa jadi amalan yang ringan mengalahkan amalan yang berat, contoh :
– Mengqoshor sholat bagi musafir lebih afdhol daripada jika dia menyempurnakannya 4 rakaat
– Sholat berjama’ah sekali lebih baik daripada sholat sendirian di rumah 25 atau 27 kali (yang tentu lebih berat)
– Meringankan (mempercepat) sholat 2 raka’at qobliah subuh lebih baik daripada memperpanjangnya, karena demikianlah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
– Sholat ‘ied lebih afdhol daripada sholat gerhana, padahal sholat gerhana lebih berat dan lebih banyak pekerjaannya. Hal ini karena waktu sholat ‘ied lebih mulia dan telah ditentukan waktunya, sehingga seperti sholat wajib. Berbeda dengan sholat gerhana yang tidak tertentu waktunya. (Lihat Al-Mantsuur fi Al-Qowa’id Al-Fiqhiyah karya Az-Zarkasyi 2/415-419)
– Dzikir Laa ilaaha illaallahu lebih afdhol dari pada memindahkan gangguan dari jalan sebagaimana disebutkan dalam hadits : الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ (Iman itu tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang, yang paling afdhol adalah perkataan Laa ilaaha illaallahu, dan yang paling rendah adalah menghilangkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu dari cabang keimanan) (HR Muslim no 35)
– Haji tamattu’ lebih afdhol dari pada haji ifrod, padahal pelaksanaan haji ifrod lebih sulit jika ditinjau dari sang haji tidak boleh bertahallul sehingga tidak bisa berpakaian biasa, dan tidak bisa berhubungan dengan istri hingga ia selesai dari tahallul tsani dalam hajinya. Berbeda dengan haja tamattu’, setelah sang haji berumroh maka ia boleh kembali memakai pakaian biasa dan boleh berhubungan dengan istrinya.
Demikian juga telah datang dalil-dalil yang melarang untuk menyulitkan diri dalam beribadah
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَلَغَهُ أَنَّ أُخْتَ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ مَاشِيَةً قَالَ : « إِنَّ اللَّهَ لَغَنِىٌّ عَنْ نَذْرِهَا مُرْهَا فَلْتَرْكَبْ »
Dari Ibnu Abbas bahwasanya sampai kabar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya saudari Uqbah bin ‘Amir telah bernadzar untuk berhaji dengan berjalan kaki, maka Nabi berkata : “Sesungguhnya Allah tidak butuh dengan nadzarnya, perintahkan dia untuk naik kendaraan” (HR Abu Dawud no 3299)
Dalam riwayat Ahmad (no 17291)
مُرْهَا فَلْتَرْكَبْ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ تَعْذِيْبِ أُخْتِكَ نَفْسَهَا لَغَنْيٌّ
“Perintah dia agar naik kendaraan, karena sesungguhnya Allah tidak butuh dengan sikap saudarimu yang menyiksa dirinya”
Kesulitan Yang Menambah Pahala
Kesulitan bukanlah perkara yang dikehendaki oleh syari’at. Maka jika ada seseorang yang berkata, dari pada saya naik pesawat lebih baik saya naik haji dengan naik bus, karena hal ini lebih sulit dan lebih banyak pahalanya. Atau ada yang berkata, “Lebih baik saya jalan kaki dari pada naik bus, karena ini lebih sulit dan lebih banyak pahalanya”. Tentu kita katakan hal ini tidaklah dibenarkan. Telah lalu hadits tentang saudari Uqbah bin Amir yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhaji dengan naik tunggangan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri berhaji dengan naik onta.
Adapun kesulitan yang tidak bisa terpisahkan dari ibadah maka hal ini mendatangkan pahala. Sebagai contoh seorang yang hendak melempar jamarot tatkala haji maka mau tidak mau ia harus berjalan dengan jarak yang jauh, yang terkadang berada di bawah terik matahari, akan tetapi ini semua mendatangkan pahala. Semakin tinggi tingkat kesulitan –yang tidak bisa dihindari- maka semakin tinggi pula pahalanya. Inilah maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berkata kepada Aisyah tatkala Aisyah berkata kepada beliau
يَا رَسُوْلَ اللهِ يَصْدُرُ النَّاسُ بِنُسُكَيْنِ وَأَصْدُرُ بِنُسُكٍ وَاحِدٍ
“Wahai Rasulullah, orang-orang pulang dengan membawa dua nusuk (haji dan umroh) sementara aku pulang dengan membawa satu nusuk saja (haji saja)?”
Maka Nabi berkata kepadanya :
انْتَظِرِي فإذَا طَهُرْتِ فاخْرُجِي إلَى التَّنْعِيمِ فأهِلِّي ثُمَّ ائتِينَا بِمَكَانِ كذَا وكَذَا ولَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبكِ
“Tunggulah, jika engkau telah suci maka keluarlah menuju Tan’im lalu bertalbiahlah (umroh) dari sana, kemudian temui kami di tempat ini dan itu, akan tetapi ganjaran umroh itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu” (HR Al-Bukhari no 1787 dan Muslim no 1211)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata
ومما ينبغي أن يُعرف أن الله ليس رضاه أو محبته في مجرد عذاب النفس وحملها على المشاق، حتى يكون العمل كل ما كان أشق كان أفضل، كما يحسب كثير من الجهال أن الأجر على قدر المشقة في كل شيء، لا! ولكن الأجر على قدر منفعة العمل ومصلحته وفائدته، وعلى قدر طاعة أمر الله ورسوله؛ فأي العملين كان أحسن وصاحبه أطوع وأتبع كان أفضل، فإن الأعمال لا تتفاضل بالكثرة، وإنما تتفاضل بما يحصل في القلوب حال العمل… وأصل ذلك أن يعلم العبد أن الله لم يأمرنا إلا بما فيه صلاحنا، ولم ينهنا إلا عما فيه فسادنا، ولهذا يثني الله على العمل الصالح، ويأمر بالصلاح والإصلاح وينهى عن الفساد…فالله سبحانه … أمرنا بالأعمال الصالحة لما فيها من المنفعة والصلاح لنا، وقد لا تحصل هذه الأعمال إلا بمشقة؛ كالجهاد، والحج، والأمر بالمعروف، والنهي عن المنكر، وطلب العلم؛ فيحتمل تلك المشقة ويثاب عليها لما يعقبه من المنفعة
“Diantara perkara yang harus diketahui bahwa sesungguhnya keridhoan dan cinta Allah tidak terletak pada sebatas menyusahkan diri, dan membawanya kepada perkara-perkara yang sulit, hingga suatu amalan semakin berat semakin afdhol, sebagaimana yang disangka oleh banyak orang jahil bahwa pahala itu disesuaikan dengan kadar kesulitan pada segala sesuatu.
Tidak demikian! Akan tetapi pahala itu sesuai dengan besar kecilnya manfaat, mashlahat dan faidah amal, juga sesuai dengan ketaatan ia kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka mana diantara dua amal ada yang paling baik, dan pelakunya paling taat dan mengikuti (sunnah) maka amal itulah yang paling utama, karena amalan itu tidak berbeda-beda derajatnya hanya dari sisi kuantitas saja, namun berbeda-beda sesuai kondisi hatinya tatkala beramal…”
“Dan landasan hal ini adalah seorang hamba hendaknya mengetahui bahwasanya Allah tidaklah memerintahkan kita kecuali dengan perkara yang mendatangkan kebaikan bagi kita, dan tidaklah Allah melarang kita kecuali dari perkara yang mendatangkan kerusakan kepada kita…Allah memerintahkan untuk beramal sholeh karena ada manfaat dan kebaikan bagi kita. Dan terkadang amal-amal sholeh tersebut tidak bisa terlaksanakan kecuali dengan kesulitan, seperti jihad, haji, beramar ma’ruf, bernahi munkar, dan menuntut ilmu. Maka kesulitan tersebut dijalani dan diberi ganjaran karena kesulitan tersebut mendatangkan manfaat…” (Majmu’ fataawa 25/281-282)
Peringatan :
Telah datang beberapa hadits yang menjelaskan bahwasanya berjalan untuk melaksanakan sebagian ibadah lebih baik dari pada berkendaraan. Seperti berjalan untuk melaksanakan sholat jama’ah. Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata :
كَانَ رجل لَا أعلم رجلا أبعد من الْمَسْجِد مِنْهُ وَكَانَ لَا تخطئه صَلَاة فَقيل لَهُ لَو اشْتريت حمارا تركبه فِي الظلماء وَفِي الرمضاء قَالَ مَا يسرني أَن منزلي إِلَى جنب الْمَسْجِد إِنِّي أُرِيد أَن يكْتب لي ممشاي إِلَى الْمَسْجِد ورجوعي إِلَى أَهلِي فَقَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قد جمع الله لَك ذَلِك كُله
“Ada seseorang yang paling jauh tinggalnya dari mesjid, dan ia tidak pernah ketinggalan sholat (berjama’ah). Maka dikatakan kepadanya : “Bagaimana kalau engkau membeli seekor himar (keledai) untuk kau tunggangi tatkala melintas kegelapan dan tanah yang panas?”. Ia berkata, “Aku tidak suka jika tempat tinggalku di dekat mesjid, aku suka jika dicatat bagiku langkahku ke mesjid dan langkah kembaliku dari mesjid ke rumahku”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah telah mengumpulkan itu semua untukmu” (HR Muslim no 663)
Lihatlah sahabat ini telah terpatri dalam dirinya bahwasanya berjalan ke mesjid lebih besar pahalanya daripada mengendarai tunggangan. Dan hal ini telah dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini sebagaimana berjalan menuju sholat jum’at. Dalam hadits Aus Ats-Tsaqofi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من غسَّل يَوْم الْجُمُعَة واغتسل ثمَّ بكر وابتكر وَمَشى وَلم يركب ودنا من الإِمَام واستمع وَلم يلغ كَانَ لَهُ بِكُل خطْوَة عمل سنة: أجر صيامها وقيامها
“Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi (yaitu berhubungan dengan istrinya) pada hari jum’at, lalu ia mandi lalu bersegera menuju masjid dan berjalan tidak berkendaraan, dan dekat dengan imam, dan mendengar serta tidak berbuat sia-sia maka bagi dia untuk setiap langkahnya amalan selama setahun, pahala puasa dan sholat malamnya” (HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Maajah)
Hal ini menunjukkan bahwa disunnahkan untuk berjalan kaki dalam melaksanakan sebagian ibadah seperti sholat berjama’ah.
Apakah hal ini bisa diqiaskan dengan ibadah-ibadah yang lain seperti haji?
Terlebih lagi datang atsar-atsar dari sebagian salaf yang sengaja untuk berhaji dengan berjalan kaki.
Pendapat yang lebih hati-hati kita tidak mengatakan berjalan kaki sunnah kecuali pada perkara-perkara yang ada dalilnya secara khusus.
Adapun yang dilakukan oleh “sebagian” salaf, maka hal itu bukanlah dalil, terlebih lagi yang melakukan hanyalah sebagian salaf. Namun kita bawakan kepada bahwasanya jalan kaki tersebut bagi mereka tidak terlalu sulit menurut ukuran mereka. Karena kalau sampai merepotkan dengan berat, terlebih lagi bisa mengorbankan kemaslahatan-kemaslahatan yang lain maka tentulah tidak disyari’atkan. Terlebih lagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhaji dengan mengendarai tunggangan onta. Dan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah yang terbaik. Demikian juga telah lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang saudari Uqbah bin ‘Amir yang bernadzar hendak berhaji jalan kaki, dan Nabi memerintahkannya untuk berhaji dengan mengendarai tunggangan.
Kesimpulan :
Tidak bisa dikatakan secara mutlak bahwa haji reguler lebih afdhol dan lebih mabrur daripada haji plus, meskipun memang secara kenyataan bahwa haji reguler lebih repot dan lebih letih serta lebih banyak jalan kakinya, tidak sebagaimana haji plus. Akan tetapi meskipun haji reguler lebih banyak “letih”nya, akan tetapi haji plus lebih banyak infaqnya. Dan dalam hadits Aisyah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya :
ولَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَفَقَتِكِ أوْ نَصَبكِ
“Akan tetapi pahalanya sesuai dengan kadar nafkahmu/biayamu dan letihmu”
Tentu haji plus bayarnya lebih mahal, dan ini tentu biaya yang dikeluarkan dalam rangka menjalankan perintah Allah. Maka masing-masing baik haji reguler atau haji plus telah melakukan perkara yang baik, maka tidak bisa dikatakan secara mutlak bahwa haji reguler lebih mabrur daripada haji plus, atau sebaliknya.
Baik yang haji plus atau reguler hendaknya melaksanakan hajinya dengan sesuai sunnah dan penuh ketakwaan. Haji mabrur bisa diraih dengan haji plus ataupun haji reguler. Wallahu A’lam bishowaab
Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 22-01-1436 H / 15 November 2014 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com